Pemkab Kapuas Hulu: Komit Mendorong Sentra Wirausaha Madu Hutan

Sejumlah pemangku kepentingan di Kabupaten Kapuas Hulu bersepakat melakukan aksi bersama dalam Pembentukan Sentra Wirausaha Produksi dan Pemanfaatan Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Madu melalui penandatangan ‘Kesepahaman Kapuas Hulu’. Nota kesepahaman ini merupakan hasil dari kegiatan Workshop Pengembangan Madu Hutan di Kapuas Hulu yang di laksanakan pekan lalu (13/06) di Ibukota kabupaten, Kota Putussibau.

Butir-butir kesepahaman diantaranya menyepakati tentang pembentukan kelembagaan wirausaha pengembangan produksi dan pemanfaatan  madu hutan Kapuas Hulu, dalam bentuk sentra wirausaha produksi dan pemanfaatan HHBK komoditas madu hutan di wilayah Kapuas Hulu.

“Pembentukan sentra tersebut dimaksudkan untuk mempercepat pertumbuhan wirausaha produktif komoditas HHBK madu hutan di suatu wilayah masyarakat yang efektif dan efisien, khususnya di lingkup Kapuas Hulu,” jelas Joko Pramono, selaku wakil dari Direktorat Bina Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan.

Para pemangku kepentingan terdiri dari penggiat pelaku usaha berbasis madu hutan seperti Kelompok Petani Madu Hutan (Periau) Kabupaten Kapuas Hulu, dan pemangku kepentingan kunci dari sektor pemerintah seperti Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, Badan Pemberdayaan Desa, Perempuan dan Keluarga Berencana (BPDPKB), Kantor Lingkungan Hidup, Direktorat Bina Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Kapuas, serta komponen masyaralat sipil diantaranya Perkumpulan KABAN, Yayasan Riak Bumi, WWF-Indonesia, Fauna Flora Internasional (FFI)  dan GIZ-FORCLIME.

Dalam workshop itu dipaparkan tentang produktivitas madu hutan yang cukup besar di Kabupaten Kapuas Hulu, yakni 80 ton per tahun, dan hampir sebagian berasal dari ekosistem Danau Sentarum dan sekitarnya. Pada tahun 2010, tercatat omset penjualan madu oleh Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) sebesar 13 ton (Rp. 1.170.000.000,-). Omset tersebut cenderung meningkat dibandingkan dengan nilai omset sejak tahun 2006/2007.

Produksi yang tinggi tersebut merupakan sebuah titik keberhasilan dari pendampingan petani madu (kelompok periau) yang diinisiasi sejak tahun 2000 oleh beberapa pihak dengan cara pengorganisasian kelompok petani madu (kelompok Periau) melalui sistem panen madu lestari (SPML). Praktek berkelanjutan ini terutama dipraktekkan di beberapa titik potensial, seperti yang ada di dalam kawasan konservasi atau kawasan Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS).

SPML ini bertujuan selain untuk menjamin keberlanjutan produksi madu yang secara tradisional sudah dilakukan sejak dahulu oleh masyarakat juga merupakan praktek terbaik yang sudah dilakukan petani madu di beberapa negara di Asia. Sejakt SPML ini dipraktekkan oleh kelompok periau, madu hutan Danau Sentarum kemudian dikenal luas di pasaran lokal, regional hingga nasional. Terlebih, saat ini produk madu hutan (Apis dorsata) yang berasal dari Danau Sentarum, hampir 4 tahun lamanya telah mendapatkan sertifikat madu organik dari lembaga penyedia sertifikat organik BIOCERT dari Bogor. Sertifikat organik inilah yang menjamin bahwa mulai dari panen hingga produk akhir pengemasannya madu danau sentarum dopanen dan diolah secara lestari serta melalui proses-proses yang menjaga mutu/kualitas organik sesuai tuntutan sertifikat organik tersebut.

Di dalam workshop juga diakui bahwa keberhasilan tersebut masih menyisakan beberapa kendala dan permasalahan seperti penyebarluasan teknis budidaya madu yang lestari, serta masih lemahnya kelembagaan masyarakat petani. Sementara di sektor hilir, kendala yang dominan adalah keterbatasan modal, penyerapan pasar, ketidakseimbangan rantai perdagangan, dan aspek pendampingan untuk terus meningkatkan kapasitas pengelola (kelompok periau).

Atas dasar masih banyaknya kendala inilah workshop pengelolaan madu hutan sebagai komoditas unggulan HHBK digelar dan patut disyukuri inisiatif ini mendapat perhatian dari pihak pemangku kunci, dalam hal ini pemerintah daerah melalui Dinas Perkebunan dan Kehutanan serta Kementrian Kehutanan melalui Direktorat Bina Perhutanan Sosial.

“Kementrian kehutanan menaruh perhatian serius terhadap isu madu hutan ini”, kata Joko. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa langkah pertama yang penting dilakukan adalah penyamaan persepsi yang diaktualisasikan dalam bentuk kesepahaman bersama dan akan lebih bagus ditindaklanjuti dengan aksi konkrit seperti pembentukan kelembagaan yang efektif dan operasional dengan melibatkan masyarakat di hulu dan pelaku industri di hilir yang dijembatani oleh pemerintah dan pemerintah daerah.

“Saya pikir adanya lembaga yang mengurusi madu penting hadir di Kapuas Hulu sebagai media pembinaan kapasitas wirausaha madu hutan yang terkonsentrasi, terfokus dan berkelanjutan”, kata Drs. H. M Hasan, Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kapuas Hulu. Ia menegaskan bahwa lembaga wirausaha budidaya atau industri pengolahan HHBK madu hutan ini akan diarahkan tingkatkan kapasitanya agar lebih produktif, mandiri dan dapat mengelola kelembagaan secara berkelanjutan, sehingga dapat mengoptimalkan daya saing komoditas HHBK madu hutan mulai dari aspek produksi sampai dengan pemasaran.

Selain isu pemanfaatan madu hutan, dalam workshop ini juga dibahas tentang komitmen para pihak termasuk pemangku kunci (Disbunhut) terkait penyelamatan ekosistem dan habitat (kawasan hutan) dan keragaman hayati, dimana lebah hutan merupakan salah satu di dalamnya. Dalam ekspos singkat yang disampaikan oleh Lorens, selaku staf pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm), WWF-Indonesia Program Kalimantan Barat, bahwa untuk mendukung terjaminnya keberadaan lebah hutan diperlukan keamanan dan kesehatan ekosistem melalui perbaikan kawasan hutan guna mempertahankan bahkan meningkatkan jasa ekosistem kawasan tersebut.

Lorens memaparkan serangkaian aksi yang telah dikembangkan terutama di wilayah yang berada di antara Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) – Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) seperti upaya restorasi kawasan hutan lindung Lanjak, dan aspek peningkatan kapasitas masyarakat, serta penguatan kelembagaan sebagai strategi membangun kondisi pemungkin (enabling condition) pengelolaan kolaboratif kawasan.

“Upaya ini guna menyediakan habitat dan sumber pakan bagi lebah dan fauna penting lainnya seperti orangutan serta penyediaan sumber penghidupan yang lestari bagi masyarakat sekitar hutan dengan menyediakan tanaman perkebunan seperti karet, gaharu yang ditanam di lahan masyarakat itu sendiri”, kata Lorens.

Menurutnya inisiasi ini untuk menyediakan kondisi pemungkin bagi pemangku kepentingan, terutama terkait dengan rencana pemerintah daerah Kapuas hulu mendorong adanya Kesatuan pengelola hutan produksi (KPHP) di lokasi dimana selama ini WWF bekerja. “Dengan kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) maka dapat dijadikan peluang kerjasama bagi semua pihak terutama unutk menjamin kepastian meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan disekitar mereka”, tegas Lorens.